Berbagai kegiatan pembiasaan yang dimunculkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti sebenarnya bukanlah barang baru. Guru dan siswa pernah dan beberapa kali melakukannya  di sekolah. Tetapi sekian lama tak lagi tampak. Kegiatan itu di antaranya upacara bendera setiap Senin, olahraga bersama sekali seminggu (biasanya hari Jumat), dan menyanyikan lagu nasional di kelas.

Permendikbud ini lahir sebagai tanggapan terhadap dorongan masyarakat agar terjadi perubahan signifikan dalam dunia pendidikan, terutama terkait dekadensi moral yang merebak di kalangan peserta didik; tawuran pelajar, seks bebas, gaya hidup permisif. Uniknya, Permendikbud ini dijabarkan sangat detail. Di dalamnya termuat berbagai kegiatan yang dilakukan siswa dan guru, baik yang bersifat wajib maupun contoh atau pilihan. Intinya, perilaku baik yang disebutkan dalam Permendikud dijadikan pembiasaan di sekolah.

Di antara sekian perilaku baik yang diharapkan menjadi kebiasaan di sekolah kemudian menular di rumah adalah membaca. Hal ini disebutkan dalam lampiran Permendikbud butir F, pembiasaan kegiatan pada butir VI (Mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh) yaitu: “Menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari).” Munculnya pewajiban membaca merujuk pada kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Minat baca masyarakat Indonesia, kata Anies, sangat rendah. Itu dapat dilihat dari perilaku masyarakat di berbagai fasilitas umum dan ruang tunggu. Di halte, terminal, stasiun, atau bandara, misalnya, orang lebih banyak memegang gawai ketimbang buku. Di antara lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat, hanya lingkup sekolah yang dapat diintervensi pemerintah. Dengan menumbuhkan budaya membaca di sekolah, diharapkan kebiasaan membaca menular ke lingkungan keluarga dan masyarakat.



Terbitnya Permendikbud tentang Penumbuhan Budi Pekerti tidak lepas dari konteks global. Literasi menjadi subjek pengukuran oleh beragam survei internasional. Indonesia sendiri, sejak 2000, berpartisipasi dalam survei PISA. Sayangnya, di tiap survei 3 tahunan itu, posisi Indonesia selalu berada di posisi terbawah, jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Menurut survei teranyar PISA 2015 yang diumumkan pada 6 Desember 2016, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 72 negara yang disurvei. Survei yang dilakukan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) juga tidak mendongkrak peringkat Indonesia.

Ada beberapa permasalahan mendasar yang membuat Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang menjadi sorotan Billy Antoro, satgas GLS Nasional dalam bukunya yang berjudul "Gerakan Literasi Sekolah" Dari Pucuk HIngga Akar.  Mari menyikapi permasalahan tersebut sebagai sebuah tantangan, bukan penghalang keberhasilan.

Lebih lengkapnya silakan unduh buku yang sangat menarik ini, DISINI