Tulisan ini tidak bermaksud untuk membatalkan rencana anda mengundang narasumber. Juga jangan dimaknai kalau penulis tidak mau menjadi narasumber. Apalagi anda menganggap penulis menghalangi rezeki narasumber lain. Coba lanjutkan membaca sampai akhir.

     ( Foto Ilustrasi : workshop sebelum terjadi pandemi Covid-19)

Ini zaman digital dan internet. Ditambah situasi harus jaga jarak dengan orang lain. Klop, kan? Jadilah semua orang beramai-ramai menggunakan berbagai platform daring. Mulai dari presiden, menteri, gubernur, rapat-rapat bahkan musyawarah setingkat RT menggunakan daring untuk berinteraksi dan berkomunikasi.  Khusus urusan sekolah, urusan kampus, urusan belajar mengajar, ini yang paling intensif. Guru dan siswanya, kadang-kadang orangtuanya juga ikut-ikutan daring. Membantu anaknya mengerjakan tugas.

Istilah kerennya e-learning. Belajar lewat media elektronik. Bukan cuma lewat sih, tapi benar-benar menggunakan. Sekolah, guru atau kepala sekolah yang sebelumnya tidak bisa daring-daringan, mendadak pintar  dan aktif di dunia maya. Siswa yang biasanya di kelas pendiam ternyata saat online berubah rame. Bisa melengkapi slogan : diam di dunia nyata, rame di dunia maya. 

Saking ramenya daring, sampai-sampai tidak terdengar kalau masih ada guru yang sebetulnya belum bisa mengikuti gonjang-ganjingnya e-learning. Prosentasenya memang kecil, kalah jumlah dibanding yang mendadak mahir tadi. Bagusnya dan terpaksanya, sekolah atau guru-guru itu tidak tinggal diam. Mengambil sikap, harus belajar, dan harus ada yang mengajari.

Nah, akhirnya tidak sedikit sekolah yang lantas mendatangkan narasumber dengan tatap muka langsung, workshop, bukan webinar ataupun video conference. Mengajari guru-guru. Agar semua ikut mahir menggunakan aplikasi e-learning. Dan dilaksanakan lebih serius dibanding sebelumnya, bukan karena pencitraan sekolah, atau karena kewajiban menuntaskan anggaran.


                                          ( Foto Ilustrasi : workshop sebelum terjadi pandemi Covid-19)

Bukan masalah situasi yang sedang pandemi. Saat normalpun narasumber sangat diperlukan untuk berbagi informasi tentang berbagai platform aplikasi daring. Menjamurnya tutorial yang dapat ditonton di portal video dinilai belum cukup membantu. Harus mendatangkan narasumber, termasuk pembuat video itu sendiri. Belum puas kalau belum ketemu orangnya secara langsung. Biaya mendatangkan narasumber tak perlu dikhawatirkan, yang penting ada kepuasan diajari langsung oleh pembuat tutorial. Sekaligus mempertahankan budaya silaturrahim.  

Mendatangkan narasumber untuk memberikan tutorial penggunaan sebuah aplikasi daring. Melakukan hal-hal daring tapi tidak dengan cara daring. Masalah? Oh tidak. Bisa jadi karena ada hal-hal teknis yang tidak bisa dilakukan secara daring. Dan workshop seperti itu bukan hanya masalah sharing pengetahuan. Ini masalah psycho-cohesiveness, kebutuhan saling berbagi, kira-kira begitu. 

Tapi bagaimana dengan situasi pandemi yang memungkinkan terjadinya penularan virus? Penulis berharap tidak akan terjadi virus-cohesiveness, apakah itu? Maknai saja sebagai saling menularkan virus. Virus sesungguhnya, bukan virus komputer. Akibat kedekatan jarak antara narasumber dengan peserta yang tidak bisa dihindari. Memang harus dekat. Kalau narasumber tidak mau mendekat ke peserta untuk bantuan teknis, ngapain harus capek-capek datang langsung memberi materi ? 

Narasumber datang pasti membawa virus, kok. Membawa virus kebaikan. Membantu sekolah dan guru mempersiapkan e-learning yang mumpuni. Jadi kalaupun narasumber datang dengan membawa virus beneran, pasti tidak sengaja. Bisa jadi virus beneran juga ingin diajari, tentang e-learning, supaya bisa login dan membuat kelas-kelas pembelajaran dalam jaringan e-learning. Dalam dunianya mereka yang lebih maya dari dunia mayanya manusia. Akhirnya, virus juga mempunyai keilmuan untuk berkembang dan menular lewat jaringan internet. Internetnya virus.


Keyphrase: Tetap ikuti Protokol Kesehatan.
Sidoarjo, 17072020