Banyak materi menarik dalam pelatihan program guru penggerak (PGP). Ini saya petik salah satunya, yaitu materi tentang bagaimana mewujudkan budaya positif di sekolah. Budaya positif bukan hanya istilah atau jargon, ini aktivitas yang diharapkan muncul bersumber dari nilai kebajikan yang diyakini oleh seluruh warga sekolah.
Guru di PGP dilatih bagaimana proses mewujudkan budaya positif di lingkungan kerjanya. Beberapa tahapan yang harus dikuasai. Yang paling utama adalah tentang cara berpikir tentang penerapan disiplin di sekolah. Guru yang telah bersama-sama belajar tentang budaya positif ini diharapkan dalam memproses penegakan disilin di sekolahnya dapat lebih baik dan profesional.
Mungkin selama ini penegakan disiplin berlangsung satu arah, artinya sekolah atau guru yang menetapkan aturan dan murid sifatnya sebagai pelaksana tanpa punya hak tawar. Nah di PGP ini ada modul-modul yang mengajak guru memiliki keterbukaan cara berpikir (mindset). Bahwa sebuah peraturan hendaknya dibuat berdasarkan kesepakatan dan kesanggupan bukan pemaksaan. Dan sebagai guru, kita tidak seharusnya menjadi pengontrol bagi murid, karena itu hanya akan menimbulkan energi negatif dalam hubungan guru dan murid, yang pada akhirnya akan melelahkan guru ketika tak dapat terus mengontrol murid dan permasalahan yang mucul semakin beragam. Miskonsepsi semacam ini yang ingin dibenahi melalui materi di modul PGP.
Disamping menghindari miskonsepsi seperti diatas, guru dikenalkan dengan konsep segitiga restitusi dalam menangani masalah murid. Segitiga restitusi ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu :
1. Menstabilkan identitas, maksudnya hal terbaik apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh murid dalam berperilaku baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa.
2. Melakukan validasi tindakan, murid belajar untuk menemukan alasannya melakukan sebuah perilaku yang kurang sesuai dengan harapan. Tujuan apa yang diinginkan darinya ketika melakukan perilaku tersebut.
3. Menanyakan keyakinan, yaitu apa yang dia yakini dan sepakati sebagai bagian dari komunitas di sekolah umumnya dan dikelas khususnya.
Seorang guru dalam praktik segitiga restitusi dapat mengambil posisi kontrol yang tepat, apakah sebagai teman, penghukum, membuat orang merasa bersalah, pemantau atau sebagai manajer. Tentunya yang paling ideal untuk menumbuhkan budaya positif adalan posisi kontrol sebagai teman, pemantau dan manajer. Karena ketiga posisi ini membantu murid untuk dapat menyuarakan haknya dan keinginannya bahkan murid bisa melakukan diskusi bersama guru untuk menemukan solusi terbaik dari permasalahannya.
Beberapa guru yang saya fasilitasi berhasil membangun mindset yang sangat bagus. Inovasinya berkembang saat menerapkan segitiga restitusi ini dalam pemecahan masalah. Meskipun ini sebuag alternatif namun sifatnya sangat fleksibel untuk diterapkan dilingkungan apapun. Langkah awal yang baik jika seorang guru mau dan mampun menerapkan praktik segitiga restitusi ini dalam upaya menumbuhkan budaya positif disekolah kita.
Berikut saya cuplikkan bagaimana teman peserta PGP menyelesaikan kasusnya.
Ilustrasi Kasus 1
Peserta didik kelas 6 setiap pagi sebelum pembelajaran, rutin melaksanakan kegiatan
membersihkan halaman sekolah secara bergotong royong. Pada saat itu Olivia, Raffi
dan Catur sibuk menyapu halaman tapi ada salah satu temannya yang bernama Teguh
hanya melihat saja sambil makan tidak mau membantu membuang sampah atau
menyapu. Sehingga teman-temannya kesal dan melaporkan kejadian tersebut ke ibu
Dewi selaku Guru Kelas 6.
Bagaimana langkah segitiga restitutusi yang dilakukan oleh bu Dewi ? simak karyanya berikut ini.
https://drive.google.com/file/d/1PWhV9Hv0cmH8PBugkPRjH3B4k1WiPKRu/view?usp=sharing